Mukadima:
Disela kesibukan, kutak-ketik bikin cerita... lumayan buat nuaingin ide kreatif
-**- -**- -**- -**- -**- -**- -**- -**- -**- -**- -**- -**- -**- -**-
Mawa Putih
Kau tak mungkin mengerti. Tidak sama sekali. Tentang keinginanku, apalagi perasaanku. Walaupun aku sering terbuka padamu, itu hanyalah secuwil dari banyaknya persoalan yang membelengguku. Walaupun ini percuma, mungkin kau bisa mendengarnya.
Benakku melayang mencoba menerobos sisi gelapnya jiwa yang telah tertutup berjuta kemarahan dan pemberontakan naluri yang diliputi dendam dan keegoisan harga diri yang telah terinjak kegelisahan dan ketidak mengertian perasaan yang semakin meraung mencari kelonggaran pikiran yang mulai membeku untuk menyapa kalbu yang mulai kabur. Seperti mentari yang tak dapat ditemukan ketika malam tiba, bak rembulan yang tertutup awan gelap.
Kau yang mencoba alihkan perasaanku untuk selalu menuruti lajunya pikiranmu yang tak pernah kumengerti kemana dan sampai dimana berhenti, tak pernah mencoba mengerti apa yang kurasakan. Keeogisanmu membuat aku ingin lari dari tubuhmu yang mulai terasa kaku memandangku rendah dan menatapku penuh iri. Tak kan kubiarkan seluruh rahasia pikiranku kau kuasai, takkan kubiarkan perasaan ini kau cabik-cabik, takan kubiarkan naluriku kau kelabui, takkan kubiarkan.
Aku berkata dengan penuh kemarahan tanpa memberi kesempatan untukmu membela diri:
“Kau tinggalkan aku disebuah pesta ulang tahun Anita, dan kau asyik dengan mereka sementara aku! Kau biarkan duduk sendirian tanpa kau tengok. Aku malu! malu sekali…, tak ada teman yang aku kenal. Trus saat kau butuh aku mengantarmu kesebuah konser, kau tinggalkan aku tanpa kau berucap terima kasih. Kau tak peduli saat aku sakit, dan butuh seseorang yang menemaniku. Apakah itu arti dari seorang teman. Dimana kau butuh kau rayu, kau bujuk aku, sementara saat dibutuhkan kau sama sekali tak mau peduli.”
Kau hanya terdiam, hanya sebuah kata ‘maaf’ yang talah terlambat untuk kumaafkan, hatiku telah tertutup awan tebal penuh keegoisan. Naluriku berontak, Sementara perasaanku terombang-ambing oleh penyesalan. Setelah kembali kuingat ketika kau tatap aku dengan pandangan mata yang sendu dan dimatamu pula terlihat bening air mata yang coba kau tahan untuk tidak menetes mengantar kepergianku.
Entah apa yang terjadi penyesalan terlahir dari sudut paling dalam di ujung hati yang telah beku. Ada setetas sesal yang menguak di dalam relung hati yang telah membatu. Sungguh diluar kuasa bila aku tetap tak ingin
Dan engkau tercengang mendengar itu semua, dan aku tak memberikan kesempatan untukmu untuk membela diri. Hatimu pasti terpukul. Namun kau diam menerima semua makianku. Aku tak dapat mengingat semua makianku yang kuucapkan. Aku memang keterlaluan. Baru aku sesali sekarang.
Yang sempat terucap dari mulutmu hanya kata maaf. Matamu nanar dan kau tenggelamkan dirimu dibalik pintu kamarmu. Tapi aku tak ambil peduli. Rasanya lega saat itu, aku telah keluarkan unek-unekku.
Bahkan aku tak peduli, saat kau menghindariku, berlari saat bertemu denganku, sambil menutup muka. Tangiskah yang kau sembunyikan Saat itu dalam hatiku hanya kebencian masa bodoh.
Hampir setengah jam kau telepon aku, namun tak ada pembicaraan yang berarti, kaku dan terisi kebisuan. Hampir tak ada perbincangan. Mau ku tutup tapi tak mampu. Aku sendiri kesepian tanpa ada dirimu. Aku merindukanmu. Yang kugaris bawahi dari pembicaraan hanyalah kata maaf, dan dua hari lagi kau akan berkunjung ketempatku.
Kau datang telat satu hari, menurutnya sudah dua jam menunggu di beranda rumahku, tapi bukan pembalasanku karena kemarin aku hampir menunggu seharian. Karena memang tidak setimpal.
Aku santunkan senyum hanya sekedar menyiram mukanya yang layu, mungkin kau terlalu merasa bersalah. Dan segera ku persilahkan masuk ke ruang tamu.
Ia duduk manis. Aku sadari penampilanmu lain dari hari kemarin yang biasanya kau pakai jeans dipadan dengan ham, kini kau pakai busana yang biasa dipakai kaum sejenismu. Kau kelihatan anggun. Aku mengagumimu. Bibirmu yang tak pernah disapu lipstik sekarang terulas manis warna merah yang segar, serta rambutmu yang dibiarkan terurai. Sungguh aku hampir tak mengenalimu. Andai tidak sedang musuhan, mungkin sudah habis aku godain.
Kau tampak ragu dan takut memandangku. Itu membuat suasana terasa semakin kaku bahkan aku sendiri merasa asing padamu. Padahal jauh sebelumnya kemana-mana pasti kita selalu bersama. Waktuku pasti dihabiskan bersamamu seharian.
Kaupun sadar aku mengamati penampilanmu, namun kau memilih diam. Seulas senyumpun tak tersinggung darimu. Aku hanya duduk tak begitu jauh. Hembusan nafasmu dapat aku rasakan. Aku tahu kau menyimpan beban yang berat, tapi hatiku masih belum bisa halus.
Akhirnya kau memandangku. Lama sekali,membuat aku salah tingkah. Kau memandangku penuh keharuan. Matamu menyimpan penyesalan. Dari bening matamu berubah nanar, merah dan berair. Bola matamu bergerak tak beraturan. Kau menangis tanpa bersuara.
Kau bersimpuh didadaku. Kini suara tangismu mulai terdengar menyayat hatiku. Menembus sanubariku hingga aku merasa iba. Tak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku bingung. Tangismu semakin menjadi. Hanya terdengar kata maaf dan penyesalanmu yang telah memperlakukan tidak adil. Kau memeluku erat-erat sekali.
Diakhir pamitmu. Kau ucapkan maaf sekali lagi. Kau begitu mengiba meminta maaf. Engkau katakana dirimu bersalah dengan memperlakukanku sesuka hatinya tanpa memperdulikan aku.
“ Aku memang bukan kekasihku, tapi untuk jauh darimu aku tak bisa, aku tak ingin kau marah padaku, aku sangat takut kehilanganmu, maafkan aku.” Katamu yang masih terdengar mengiang di telingaku.
Kau menghilang di belokan itu. Aku memaafkanmu. Walaupun mungkin tak sempat kau dengar.
Kini ku berada disampingmu dengan mawar putih ditanganku. Hatiku perih. Begitu banyak ganjalan dihatiku penyesalan, rasa bersalah. Mengapa engkau benar-benar menjauhiku. Jauh sekali hingga aku tak dapat lagi mendengar sepatah katapun darimu, sampai aku tak bisa lagi melihat ragamu.
Tahukah engkau, aku telah memaafkanmu,jauh sebelum engkau meminta maaf. Aku juga tak bisa jauh darimu, hidupku menjadi sepi. Dan pasti akan kesepian selamanya.Engkau memang bukan kekasihku,tapi engkau sangat berarti bagiku. Kau pergi begitu cepat,sebelum kau dengar sendiri dari mulutku bahwa aku memaafkanmu. Bukan hanya engkau yang bersalah, aku juga yang salah.
Aku tak menyangka mendapati dirimu disini,seperti ini.Setadinya aku mau minta maaf atas semua ucapanku, dan kita bersahabat seperti dulu, dan aku takkan memprotes apa yang akan kau lakukan padaku. Aku ingin kita bersama lagi. Tapi mungkinkah……
Semoga engkau mendengar ceritaku ini sayang.Semoga engkau menemukan kedamaian disana. Tidurlah dengan tenang. Tak terasa mataku sudah berair.Inikah tangis penyesalan.
Selesai berdo’a aku tinggalkan unggukan tanah yang masih merah. Ku selipkan mawar putih diantara bunga-bunga yang telah layu.